Munir Said Thalib (lahir
di Malang,
Jawa Timur,
8 Desember
1965 – meninggal
di Jakarta
di dalam pesawat jurusan ke Amsterdam, 7 September 2004 pada umur 38 tahun)
adalah pria keturunan Arab yang juga seorang aktivis HAM Indonesia.
Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi
Manusia Indonesia Imparsial.
Saat menjabat Dewan Kontras
namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik
pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktivis yang menjadi korban
penculikan Tim Mawar
dari Kopassus.
Setelah Soeharto
jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus Prabowo
Subianto dan diadilinya para anggota tim Mawar.
Jenazah Munir dimakamkan di
Taman Pemakaman Umum Kota Batu.
Biografi
- Lahir:
Malang, 8 Desember 1965
- Jabatan:
Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau HAM Indonesia Imparsial
- Pendidikan:
S1 FH Universitas Brawijaya(Unibraw) (1990)
Iwan Fals
SONG of munir https://www.youtube.com/watch?v=TMuD0WMDM_0
PRIMORDIⒶLIS
Munir Tumbal HAM https://www.reverbnation.com/primordialis
Karier
terpenting
- Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau HAM Indonesia Imparsial
- Ketua Dewan Pengurus KONTRAS
(2001)
- Koordinator Badan Pekerja KONTRAS (16 April
1998-2001)
- Wakil Ketua Dewan Pengurus YLBHI
(1998)
- Wakil Ketua Bidang Operasional YLBHI (1997)
- Sekretaris Bidang Operasional YLBHI (1996)
- Direktur LBH Semarang (1996)
- Kepala Bidang Operasional LBH Surabaya
(1993-1995)
- Koordinator Divisi Perburuhan dan Divisi Hak
Sipil Politik LBH Surabaya (1992-1993)
- Ketua LBH Surabaya Pos Malang
- Relawan LBH Surabaya (1989)
Organisasi
- Sekretaris BPM FH Unibraw (1988)
- Ketua Senat Mahasiswa FH Unibraw (1989)
- Anggota HMI Komisariat Hukum Unibraw
- Ketua Umum Komisariat Hkukum Unibraw HMI Cabang
Malang
- Sekretaris Al Irsyad Kabupaten Malang (1988)
- Divisi Legal Komite Solidaritas untuk Marsinah
- Sekretarsi Tim Pencari Fakta Forum Indonesia
Damai.
Penghargaan
terpenting
- Right Livelihood Award 2000, Penghargaan
pengabdian bidang kemajuan HAM dan kontrol sipil terhadap militer (Swedia,
8 Desember 2000)
- Mandanjeet Singh Prize, UNESCO,
untuk kiprahnya mempromosikan Toleransi dan Anti-Kekerasan (2000)
- Salah satu Pemimpin Politik Muda Asia pada
Milenium Baru (Majalah Asiaweek, Oktober 1999)
- Man of The Year versi majalah Ummat (1998).
- Suardi
Tasrif Awards, dari Aliansi Jurnalis Independen, (1998) atas
nama Kontras
- Serdadu Awards, dari Organisasi Seniman dan
Pengamen Jalanan Jakarta (1998)
- Yap Thiam Hien Award (1998)
- Satu dari seratus tokoh Indonesia abad XX,
majalah Forum Keadilan
Kasus-kasus
penting yang pernah ditangani
- Penasehat Hukum dan anggota Tim Investigasi Kasus
Fernando Araujo, dkk,
di Denpasar yang dituduh merencanakan pemberontakan melawan pemerintah
secara diam-diam untuk memisahkan Timor-Timur
dari Indonesia; 1992
- Penasehat Hukum Kasus Jose
Antonio De Jesus Das Neves (Samalarua) di Malang, dengan
tuduhan melawan pemerintah untuk memisahkan Timor Timur dari Indonesia;
1994
- Penasehat Hukum Kasus Marsinah
dan para buruh PT. CPS melawan KODAM V Brawijaya
atas tindak kekerasan dan pembunuhan Marsinah, aktifis buruh; 1994
- Penasehat Hukum masyarakat Nipah,
Madura, dalam kasus permintaan pertanggungjawaban militer atas pembunuhan
tiga petani Nipah Madura, Jawa Timur; 1993
- Penasehat Hukum Sri
Bintang Pamungkas (Ketua Umum PUDI) dalam kasus
subversi dan perkara hukum Administrative Court (PTUN)
untuk pemecatannya sebagai dosen, Jakarta; 1997
- Penasehat Hukum Muchtar Pakpahan (Ketua Umum SBSI) dalam kasus
subversi, Jakarta; 1997
- Penasehat Hukum Dita
Indah Sari, Coen Husen Pontoh,
Sholeh (Ketua PPBI dan anggota PRD) dalam kasus
subversi, Surabaya;1996
- Penasehat Hukum mahasiswa dan petani di Pasuruan
dalam kasus perburuhan PT. Chief Samsung; 1995
- Penasehat Hukum bagi 22 pekerja PT. Maspion
dalam kasus pemogokan di Sidoarjo, Jawa Timur; 1993
- Penasehat Hukum DR. George Junus Aditjondro (Dosen Universitas Kristen Satyawacana,
Salatiga) dalam kasus penghinaan terhadap pemerintah, Yogyakarta; 1994
- Penasehat hukum Muhadi (seorang sopir yang
dituduh telah menembak polisi ketika terjadi bentrokan antara polisi
dengan anggota TNI AU) di Madura, Jawa Timur; 1994
- Penasehat Hukum dalam kasus hilangnya 24 aktivis dan
mahasiswa di Jakarta; 1997-1998
- Penasehat Hukum dalam kasus pembunuhan
besar-besaran terhadap masyarakat sipil di Tanjung Priok 1984; sejak 1998
- Penasehat Hukum kasus penembakan mahasiswa di
Semanggi, Tragedi Semanggi I dan II; 1998-1999
- Anggota Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di Timor
Timur; 1999
- Penggagas Komisi Perdamaian dan Rekonsiliasi di
Maluku
- Penasehat Hukum dan Koordinator Advokat HAM dalam
kasus-kasus di Aceh dan Papua (bersama KontraS)
Pembunuhan
Munir Said Thalib, akan melanjutkan studi S2 bidang hukum humaniter di Universitas Utrecht, Belanda. Pukul 21.30 WIB. Melalui pengeras suara, seluruh penumpang pesawat Garuda Indonesia nomor penerbangan GA 974 tujuan Amsterdam dipersilakan petugas bandara naik ke pesawat.
Rombongan orang kulit putih bergegas, banyak dari mereka adalah warga
negara Belanda. Saat akan memasuki pintu pesawat, Munir bertemu
Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang biasa dipanggil Polly.
Status Polly dalam penerbangan ini adalah extra crew,
yaitu kru yang terbang sebagai penumpang dan akan bekerja untuk tugas
lain. Mereka bertemu di dekat pintu masuk kelas bisnis. Sebagai
penumpang kelas ekonomi, Munir sebenarnya akan lebih dekat dengan tempat
duduknya bila masuk melalui pintu belakang. Diawali percakapan dengan
Polly, Munir berakhir di tempat duduk kelas bisnis, nomor 3K. Kursi 3K
adalah tempat duduk Polly, sementara milik Munir adalah 40G. Polly
selanjutnya naik ke kokpit di lantai dua untuk bersalaman dan mengobrol
dengan awak kokpit yang bertugas. Saat pesawat mundur dan siap tinggal
landas, Polly dipersilakan oleh purser Brahmanie untuk duduk di kelas
premium karena banyak tempat duduk yang kosong di kelompok termahal itu.
Purser adalah pimpinan kabin yang bertanggung jawab atas kenyamanan
seluruh penumpang, termasuk kepindahan tempat duduk mereka. Lelaki
berseragam pilot kemeja putih dan celana biru dongker itu pun duduk di
11B.
Ada dua cerita tentang kepindahan Munir ke kelas bisnis itu, yaitu
menurut kisah brahmanie dan polly. Dalam sidang PN (Pengadilan Negeri)
Jakarta Pusat, Brahmanie bersaksi, “Saat sedang di depan toilet bisnis,
saya berpapasan dengan Saudara Polly. Lalu, Saudara Polly, sambil
memegang boarding pass
warna hijau, bertanya dalam bahasa Jawa, ‘Mbak, nomer 40G nang endi?
Mbak, aku ijolan karo kancaku,’ (Mbak, nomor 40G di mana? Mbak, saya
bertukar tempat dengan teman saya.) tanpa menyebutkan nama temannya.
Karena nama temannya tidak disebutkan, saya ingin tahu siapa teman
Saudara Polly. Lalu, saya datangi nomor 3K, dan ternyata yang duduk di
sana Saudara Munir, yang lalu saya salami. Saudara Polly tidak duduk di
40G, tapi di premium class nomor 11B atas anjuran saya karena banyak
tempat duduk yang kosong.” Sementara itu, dalam wawancara di Lembaga
Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Polly bercerita, “Saya ketemu Munir di
pintu pesawat Garuda Indonesia, di bandara Jakarta. Dia tanya di pintu
bisnis, ‘Tempat duduk ini di mana?’ Saya bilang, ‘Wah Bapak ini di
ekonomi, cuma tempat duduknya yang mana saya tidak hafal.’ Kemudian, itu
kan antre, ada banyak penumpang lain mau masuk, saya persilakan duluan.
Saya sebagai kru lebih baik ngalah, toh sama-sama naik pesawat, nggak
mungkin ditinggal. Setelah itu, karena saya mau masuk ke ruang bisnis,
mau melangkah ke dalam pesawat, saya bilang kepada Munir, ‘Saya duduk di
bisnis, kalau Bapak mau di sini, ya Bapak tanya dulu sama pimpinan
kabin, kalau diizinkan ya silakan, bila tidak ya mohon maaf.’ Bahasa
saya seperti itu. Sudah, itu saja.” Sebelum pesawat tinggal landas, di
kelas bisnis, Yeti Susmiarti menyajikan welcome drink. Penumpang diminta
mengambil gelas berisi sampanye, jus jeruk, atau jus apel. Munir
memilih jus jeruk. Selesai minuman pembuka, pramugari senior itu
membagikan sauna towel (handuk panas), yang biasa digunakan untuk
mengelap tangan, lalu memberikan surat kabar kepada penumpang yang ingin
membacanya. Semua layanan itu disajikan Yeti sendiri, dengan bantuan
Oedi Irianto, pramugara senior, yang menyiapkan segala keperluannya di
pantry. Pukul 22.02 WIB pesawat yang dikendalikan Kapten Pilot Sabur
Muhammad Taufik itu tinggal landas. Untuk mengukur waktu tinggal landas
dan mendarat secara tepat, industri penerbangan menggunakan istilah
block off dan block on. Block off adalah waktu yang menunjukkan saat
ganjal roda pesawat di bandara dilepas dan pesawat mulai bergerak untuk
terbang. Block on digunakan sebagai penanda waktu kedatangan pesawat di
bandara tujuan, yaitu saat ganjal roda pesawat dipasang.
Sekitar 15 menit setelah tinggal landas, pramugari menawarkan
beberapa pilihan makanan dalam kemasan yang masih panas di atas nampan.
Di kursi 3K, Munir memilih mi goreng. Selesai mi, Yeti kembali memberi
tawaran minuman, kali ini lebih banyak pilihan daripada welcome drink.
Pilihannya adalah minuman beralkohol (wiski, gin, vodka, red wine, white
wine, dan bir), soft drink, jus apel serta jus jeruk Buavita, jus tomat
Berry, susu putih Ultra, air mineral Aqua, teh, dan kopi. Munir kembali
memilih jus jeruk. Setelah mengarungi langit pulau Jawa, Sumatera, dan
laut di sekitarnya selama 1 jam 38 menit, pesawat GA 974 mendarat di
Bandara Changi, Singapura pukul 00.40 waktu setempat. Zona waktu
Singapura satu jam lebih awal ketimbang WIB. Awak kabin memberi
penumpang waktu untuk jalan-jalan atau kegiatan apa saja di Bandara
Changi selama 45 menit.
Karena keluar dari pintu bisnis, Munir pun lebih cepat mencapai
Coffee Bean dibanding jika keluar dari pintu ekonomi. Usai singgah di
kedai itu, dia kembali menuju ke pesawat melaui gerbang D 42. Di
perjalanan menuju pintu Garuda, dia disapa oleh seorang laki-laki. “Anda
Pak Munir, ya?” “Iya, Pak.” “Saya dr. Tarmizi dari Rumah Sakit Harapan
Kita. Pak Munir ngapain ke Belanda?” “Saya mau belajar, mau nge-charge
satu tahun.” “Di mana?” “Utrecht.” “Wah, Indonesia kehilangan, dong.
Anda kan orang penting?” komentar dr. Tarmizi. “Ya… ini perlu untuk
saya, Pak,” timpal Munir sambil tersenyum. “Anda ‘kan pernah nulis
tentang Aceh. Bagaimana sih, bisa beres nggak tuh?” tanya dokter lagi,
sambil keduanya berjalan. “Ah, itu tergantung niat, Dok.” “Maksudnya?”
“Kalau niatnya membereskan, tiga bulan juga beres.” Kemudian, dokter
kelahiran Sumatera Barat itu mengeluarkan dompet dan memberi Munir kartu
namanya sambil berkata, “Kapan-kapan, bila perlu, silakan menghubungi
saya.” Munir menerima kartu nama dr. Tarmizi Hakim, lalu keduanya
berpisah. Si dokter masuk ke kelas bisnis, Munir menuju pintu bagian
belakang pesawat dan duduk di kursi 40G kelas ekonomi, sebagaimana
tercantum di boarding pass-nya. Karena Polly hanya sampai Singapura,
Munir pun kembali ke tempat duduk aslinya untuk penerbangan Singapura-Amsterdam.
Total waktu transit di Changi (antara block on dan block off) adalah 1
jam 13 menit, jumlah waktu yang digunakan pesawat untuk pengisian bahan
bakar, penggantian seluruh awak kokpit dan kabin, serta penambahan
penumpang dari Singapura.
Pesawat tinggal landas dari Changi pukul 01.53 waktu setempat.
Penerbangan menuju Schipol ini dipimpin oleh Kapten Pantun Matondang,
dengan purser Madjib Nasution sebagai penanggung jawab pelayanan
penumpang. Sebelum pesawat mengangkasa, pramugari Tia mengecek kesiapan
penumpang untuk tinggal landas. Saat melakukan kewajibannya, dia
dipanggil oleh Munir yang meminta obat Promag. Pramugari bernama lengkap
Tia Dewi Ambara itu meminta Munir menunggu sebentar karena pesawat akan
tinggal landas dan seluruh awak kabin harus duduk di tempat
masing-masing. Kira-kira 15 menit kemudian, setelah pesawat di
ketinggian aman, Tia mulai membagikan selimut dan earphone, dilanjutkan
dengan makanan pengantar tidur. Saat Tia sampai di 40G, lelaki berkaus
abu-abu dan bercelana jins hitam itu sedang tidur. Tia membangunkannya
dan bertanya, “Apa Bapak sudah dapat obat dari teman saya?” “Belum.”
“Maaf, kami tidak punya obat.” Tia lalu menawarkan makanan, yang ditolak
oleh Munir. Namun, lelaki ini meminta teh hangat. Tia pun menyajikan
teh panas yang dituangkan dari teko ke gelas di atas troli. Munir
menerima uluran minuman itu, lengkap dengan gula 1 sachet. Ketika Tia
melanjutkan melayani penumpang lain, Munir melewatinya di gang menuju
toilet. Ini kali pertama Munir pergi ke toilet, sekitar 30 menit setelah
tinggal landas.
Tiga jam sudah pesawat besar itu terbang dan sedang berada di langit
India saat Munir semakin sering pergi ke toilet. Ketika berjalan di gang
kabin yang hanya diterangi oleh lampu baca, dia berpapasan dengan
pramugara Bondan Hernawa. Dia mengeluhkan sakit perut dan muntaber
kepada Bondan, serta memintanya memanggilkan dr. Tarmizi yang duduk di
kelas bisnis. Munir juga memberinya kartu nama dokter itu. Sesuai
prosedur untuk situasi semacam ini, Bondan pun melapor kepada purser
Madjib Nasution yang berada di Purser Station. “Bang, ini Pak Munir
penumpang kita sakit. Buang-buang air, muntah-muntah. Ini ada kawannya,
dokter, tapi saya tidak tahu duduk di mana. Tolong carikan tempat
duduknya,” ujar Bondan sambil menyerahkan kartu nama dr. Tarmizi. Madjib
mencari penumpang atas nama dr. Tarmizi Hakim di Passenger Manifest dan
menemukannya di kursi nomor 1J. Belum sempat dia beranjak, Munir sudah
berada di depan Purser Station. Sambil memegangi perut, Munir berkata,
“Saya sudah buang-buang air, pakai muntah juga. Mungkin maag saya
kambuh. Seharusnya tadi tidak minum jeruk waktu dari Jakarta-Singapura.”
Munir pun melanjutkan perjalanannya ke toilet. Madjib dan Bondan lalu
mendatangi 1J dan mendapati dr. Tarmizi sedang tidur di 1K, kursi
sebelah kanannya yang, karena dekat jendela dan dia dapati kosong, lalu
dia duduki. “Dokter, dokter…,” Madjib berusaha membangunkan. Keduanya
mengulanginya beberapa kali dengan suara lebih keras, tapi tidur dokter
bedah itu tetap tak terusik. Madjib kembali berjumpa Munir di gang dan
memintanya membangunkan dr. Tarmizi sendiri, sementara Bondan pergi ke
pantry untuk melaksanakan tugas terjadwalnya. Akhirnya, dr. Tarmizi
bangun. Munir menjelaskan kondisi tubuhnya yang saat itu tampak sangat
lemah dengan berkata, “Saya sudah muntah dan buang air besar enam kali
sejak terbang dari Singapura.” Dr. Tarmizi mengusulkan kepada Madjib
supaya Munir pindah tempat duduk ke nomor 4 karena tempat itu kosong dan
dekat dengannya. Munir pun duduk di kursi 4D. Dr. Tarmizi mengambil
posisi di samping kirinya. “Pak Munir makan apa saja dua hari terakhir
ini?” tanya dokter spesialis bedah toraks kardiovaskular itu. Munir
hanya diam, mungkin akibat nyeri perutnya. Pertanyaan itu disambut oleh
Madjib, “Pak Munir tadi sempat minum air jeruk, padahal Pak Munir tidak
kuat minum jeruk karena punya maag.” Munir tetap diam, tidak
berkomentar. “Kalau maag tidak begini,” kata si dokter, yang lalu
bertanya kepada Munir, “Anda makan apa?” “Biasa saja.” “Kemarin?” “Biasa
saja.” “Kemarinnya lagi?” “Biasa saja.” Dokter itu melakukan
pemeriksaan secara umum dengan membuka baju pasiennya. Dia lalu
mendapati nadi di pergelangan tangan Munir lemah. Dokter berpendapat
Munir menunjukkan gejala kekurangan cairan akibat muntaber.
Munir kembali lagi ke toilet, diikuti dokter, pramugara, dan
pramugari. Setelah muntah dan buang air, dia pulang ke kursi 4D, sambil
terus batuk-batuk berat. Dr. Tarmizi meminta seorang pramugari
mengambilkan Doctor’s Emergency Kit yang dimiliki setiap pesawat
terbang. Kotak itu dalam keadaan tersegel. Setelah melihat isinya, dia
berpendapat obat yang tersedia sangat minim, terutama untuk kebutuhan
Munir. Dr. Tarmizi memerlukan infus, tapi tidak ada. Tidak ada obat
khusus untuk sakit perut mulas, juga obat muntaber biasa. Si dokter pun
mengambil obat dari tasnya sendiri. Dia memberi Munir obat diare New
Diatabs serta obat mual dan perih kembung Zantacts dan Promag. Dua
tablet untuk yang pertama dan masing-masing satu tablet untuk dua
terakhir. Dr. Tarmizi lalu meminta seorang pramugari membuatkan teh
manis dengan sedikit tambahan garam di dalamnya. Namun, lima menit
setelah meminum teh hangat itu, Munir kembali ke toilet. Munir rampung
setelah lima menit dan membuka pintu. Dr. Tarmizi lalu membimbing Munir
berjalan menyusuri gang sambil berkomentar kepada purser Madjib,
“Mengapa infus saja tidak ada padahal perjalanan sejauh ini?” Di kotak
obat pesawat terdapat cairan Primperam, obat antimual dan muntah, yang
kemudian disuntikkan dr. Tarmizi ke tubuh Munir sejumlah 5 ml (dosis 1
ampul). Injeksi di bahu kiri ini cukup berpengaruh karena Munir kemudian
tidur. Penderitaannya reda selama 2-3 jam.
Munir bangun dan kembali masuk ke toilet. Dia cukup lama berada di
dalamnya, kira-kira 10 menit, dan pintunya pun tidak tertutup dengan
sempurna. Madjib memberanikan diri melongok lewat celah yang ada dan
mengetuk pintu, tapi tidak ada respons dari orang yang sedang menderita
di dalam sana. Madjib membuka pintu lebih lebar dan melihat laki-laki 38
tahun itu sedang bersandar lemas di dinding toilet. Purser Madjib
langsung memanggil dokter yang selama setengah jam terakhir paling tahu
kondisi penumpangnya itu. Dr. Tarmizi mengajak Madjib dan pramugara Asep
Rohman mengangkat Munir kembali ke kursi 4D. Setelah didudukkan di
kursi, Munir menjalani pemeriksaan oleh dr. Tarmizi, dalam gelapnya
kabin pesawat yang hanya diterangi lampu baca. Kegelapan ini keadaan
yang tak bisa mereka atasi sebab demikianlah aturan penerbangan. Pertama
pergelangan tangan, lalu perut. Saat perutnya diketuk oleh si dokter,
Munir mengeluh, “Aduh, sakit,” sambil memegang perut bagian atas. Madjib
menyarankannya untuk ber-Istighfar, disambut Munir dengan menyebut,
“Astaghfirullah Haladzim, La Illaha Illa Llah,” sambil tetap memegangi
perut. Pramugari Titik Murwati yang berada di dekat situ berinisiatif
memberi balsem gosok, tindakan yang dia harap bisa membantu meredakan
derita penumpangnya. Atas persetujuan dr. Tarmizi, Titik menggosok perut
Munir dengan balsem yang bisa memberikan rasa hangat. Munir berkata dia
ingin istirahat karena capek. Dr. Tarmizi membuka kotak obat lagi dan
mengambil obat suntik Diazepam. Kali ini, dokter menyuntikkan 5 mg di
bahu kanan, juga dengan bantuan purser Madjib. Jarak antara kedua
suntikan sekitar 4-5 jam. Sesudah suntikan obat penenang itu, Munir
masih merasakan mulas di perut. Lima belas menit berlalu dan Munir ke
toilet lagi, ditemani dokter, purser, serta pramugari. Di dalamnya,
Munir muntah, diikuti buang air. Kembali ke tempat duduk, Munir berkata
dirinya ingin tidur telentang. Purser dan seorang anak buahnya
membentangkan sebuah selimut sebagai alas di lantai depan kursi 4D-E dan
sebuah bantal di atasnya. Dia pun berbaring di sana, dengan dua selimut
lagi diletakkan di atas tubuhnya agar hangat. Dr. Tarmizi berkata
kepada awak kabin itu supaya Munir dijaga, dan bahwa dirinya ingin
istirahat karena besok kerja (dia akan melakukan operasi jantung di
rumah sakit di Swole), sambil minta dibangunkan bila terjadi apa-apa
dengan Munir. Juga, dia berpesan agar mereka memastikan dokter dari
Amsterdam yang besok masuk ke pesawat membawa infus. Setelahnya, si
dokter kembali ke kursi di 1K dan tidur. Munir kembali bisa tidur, tapi
sering berubah posisi, dan posisi itu selalu miring, tidak pernah
telentang atau tengkurap. Madjib terus setia menjaga Munir sampai
sekitar 3 jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol, saat awak
kabin menyiapkan makan pagi penumpang.Madjib berjalan ke tempat duduk
dr. Tarmizi dan bertanya apakah perlu dirinya membangunkan Munir untuk
sarapan, yang dijawab dengan anjuran untuk membiarkan Munir tetap
istirahat. Madjib pun melakukan tugas rutinnya mengawasi lingkungan
pesawat.
Sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat, jam 05.10 GMT atau 12.10
WIB, ketika sarapan masih berlangsung dan lampu kabin masih menyala,
Madjib kembali melangkahkan kaki mengunjungi “tempat tidur” Munir. Di
depan kursi 4D-E, dia melihat tubuh Munir dalam posisi miring menghadap
kursi, mulutnya mengeluarkan air liur tidak berbusa, dan telapak
tangannya membiru. Dia memegang tangan Munir dan mendapati rasa dingin.
Madjib yang kaget bergegas menuju kursi sang dokter. Dokter memegang
pergelangan tangan Munir sambil dengan tangan satunya menepuk-nepuk
punggung. Dia berulang-ulang berujar, “Pak Munir… Pak Munir….“ Akhirnya,
memandang purser Madjib, dr. Tarmizi berkata pelan, “Purser, Pak Munir
meninggal… Kok secepat ini, ya…. Kalau cuma muntaber, manusia bisa tahan
tiga hari.” Purser Madjib meminta Bondan dan Asep membantunya
mengangkat tubuh kaku Munir ke tempat yang lebih baik: lantai depan
kursi 4J-K. Munir berbaring di atas dua lembar selimut, kedua matanya
dipejamkan oleh Bondan, tubuhnya ditutupi selimut.
Bondan dan Asep membaca surat Yassin di depan jenazah Munir Said Thalib, empat puluh ribu kaki di atas tanah Rumania.
Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi.
Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi Indonesia. Belum diketahui siapa
yang telah meracuni Munir, meskipun ada yang menduga bahwa oknum-oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya.
Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto
dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir.
Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang
cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik pemerintah tersebut. Hakim Cicut Sutiarso
menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus menerima beberapa
panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen
senior, tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut. Selain itu Presiden
Susilo juga membentuk tim investigasi independen, namun hasil
penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.
Pada 19 Juni 2008, Mayjen (purn) Muchdi Pr, yang kebetulan juga orang dekat Prabowo Subianto dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, ditangkap dengan dugaan kuat bahwa dia adalah otak pembunuhan Munir[1]. Beragam bukti kuat dan kesaksian mengarah padanya[2].Namun demikian, pada 31 Desember 2008,
Muchdi divonis bebas. Vonis ini sangat kontroversial dan kasus ini
tengah ditinjau ulang, serta 3 hakim yang memvonisnya bebas kini tengah
diperiksa[3].