Jumat, 13 Desember 2013

Ahmad Wahib bukan Gie

Ahmad Wahib (lahir di Sampang, 9 November 1942 – meninggal di Jakarta, 31 Maret 1973 pada umur 30 tahun) dikenal sebagai pemikir dan pembaharu Islam. Ia dikenal sebagai pembaharu terutama berkat catatan harian yang diangkat menjadi buku Pergolakan Pemikiran Islam (2004) oleh Djohan Effendi dan Ismet Natsir. Dalam catatannya, Wahib mencoba mempertanyakan apa yang sudah ia yakini selama ini mengenai Tuhan, ajaran Islam, masyarakat Muslim, ilmu pengetahuan dan lain-lain. Dalam satu wawancara, Douglas E. Ramage, seorang Indonesianis lulusan the University of South Carolina menyebut Wahib sebagai salah satu pemikir baru Islam yang revolusioner.
Pada 1971, Wahib menginggalkan Yogyakarta. Tujuannya adalah Jakarta, mencari kerja. Ia pada akhirnya diterima sebagai calon reporter majalah berita mingguan Tempo. Ia juga ikut kursus filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, sebuah perguruan tinggi yag didirikan oleh seorang Jesuit Jawa, Driyarkara. Pada saat yang sama, ia juga ambil bagian dalam pertemuan berbagai kelompok diskusi. Ia bahkan sempat membuat rancangan tema diskusi soal teologi, poitik dan budaya yang sangat ambisisus. Sayangnya, ia wafat tertabrak motor pada 30 Maret 1973.

Masa Kecil
Wahib tumbuh dewasa dalam lingkungan yang kehidupan keagamaannya sangat kuat. Ayahnya adalah seorang pemimipin pesantren dan dikenal luas dalam masyarakatnya. Tapi ia juga adalah orang yang berpikiran luas dan terbuka, yang mendalami secara serius gagasan pembaharuan Muhammad Abduh. Ia menolak objek-objek kultus yang menjadi sesembahan para leluhurnya. Objek-objek ini sangat populer dalam tradisi rakyat Madura, seperti tombak, keris, ajimat, dan buku-buku primbon.
Pembahasan-pembahasan seputar masalah-masalah tersebut menimbulkan ketertarikan kepada persoalan-persoalan yang lebih umum, seperti persoalan apa sebenarnya yang dimaksud dengan istilah “ideology Islam”? Apakah Islam, dalam kenyataannya, adalah sebuah ideologi? Bagaimanakah sebuah ideologi politik dapat dirumuskan demi kepentingan umat Islam di Indonesia? Di mana posisi Islam vis a vis ideologi-ideologi sekular seperti demokrasi, sosialisme dan Marxisme? Ketertarikan kepada soal-soal ini sejalan dengan corak pertumbuhan Wahib dalam keluarganya.
Semasa Kuliah
Selain itu, Yogyakarta adalah salah satu kota yang secara intelektual dan budaya paling kaya di Indonesia. Ini berperngaruh dalam perkembangan pribadi Wahib. Yogyakarta adalah kota lembaga-lembaga pendidikan. Universitas Gadjah Mada, karena alasan-alasan kesejarahan, memiliki daya tarik yang besar, dan kenyataannya mapu menyedot banya pelajar dari seluruh Indonesia. Di sana juga ada perguruan-perguruan tinggi lain, baik milik swasta maupun pemerintah, yang juga memiliki daya tarik. Termasuk di dalamnya adalah IKIP Sanata Dharma, milik sebuah yayasan Katolik, Universitas Islam Indonesia, dan UIN Sunan Kalijaga.
Mukti Ali, mengenai kelompok diskusi ini, menyatakan bahwa kelompok tersebut menarik perhatian banyak peserta. Kelompok tersebut juga secara reguler mengundang pembicara-pembicara tamu dari berbagai kalangan, baik orang Indonesia maupun bukan. Kelompok tersebut membahas persoalan-persoalan penting menyangkut masa depan kaum Muslim Indonesia, dalam suatu kerangka yang membuka kemungkinan untuk tumbuhnya gagasan-gagasan baru yang segar. Masalah-masalah teologis yang sublim kerap didiskusikan juga, dan gagasan-gagasan yang dikemukakan seputar masalah tersebut kadang jauh dari apa yang diyakini orang kebanyakan dan bersifat provokatif.
Masa-masa Wahib di Yogyakarta adalah masa-masa yang paling bergolak dalam sejarah Indonesia. Inilah masa ambruknya ekonomi Indonesia dan terjadinya ketegangan-ketegangan politik yang berujung dengan usaha kup oleh PKI pada masa 1965. Sebagai balasan atas kup yang gagal total ini, terjadilah pembunuhan besar-besaran atas mereka yang dituduh antek-antek PKI. Di Jawa Tengah saja, ribuan orang tewas. Ini mengantarkan Indonesia terbentuknya Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto. Inilah periode gamang yang meninggalkan luka-luka psikologis si kalangan mereka yang mengalaminya.
Semua unsur di atas (latar belakang keluarga, penyesuaian diri dengan lingkungan baru, dengan konsekuensi meluasnya horizon berfikir secara dramatis, tekanan-tekanan baik bersifat politis maupun personal, dan pembunuhan besar-besaran yang mengerikan lantaran gagalnya kup PKI) jelas turut menentukan berubahnya arah pemahaman Wahib mengenai Islam. Unsur-unsur tersebut pulalah yang pada akhirnya megantarkannya untuk keluar dari HMI pada 30 September 1965. Mungkin bukanlah sebuah kebetulan bahwa tanggal di atas bersamaan dengan hari ulang tahun ke-3 gagalnya kup PKI pada 30 September 1965.

Kutipan



  • Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia. (Catatan Harian 9 Oktober 1969)
  • Cara bersikap kita terhadap ajaran Islam, Qur’an dan lain-lain sebagaimana terhadap Pancasila harus berubah, yaitu dari sikap sebagai insan otoriter menjadi sikap insan merdeka, yaitu insan yang produktif, analitis dan kreatif. (Catatan Harian 16 Agustus 1970)

Karya

  • Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib (2004) (Penerbit LP3S Jakarta)
  • Pembaharuan Tanpa Apologia: Esai-esai tentang Ahmad Wahib (2010) (Paramadina, Jakarta)

Munir (HAM)

Munir Said Thalib (lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965 – meninggal di Jakarta di dalam pesawat jurusan ke Amsterdam, 7 September 2004 pada umur 38 tahun) adalah pria keturunan Arab yang juga seorang aktivis HAM Indonesia. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial.
Saat menjabat Dewan Kontras namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah Soeharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota tim Mawar.
Jenazah Munir dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Kota Batu.


Biografi
  • Lahir: Malang, 8 Desember 1965
  • Jabatan: Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau HAM Indonesia Imparsial
  • Pendidikan: S1 FH Universitas Brawijaya(Unibraw) (1990)
 Iwan Fals SONG of munir  https://www.youtube.com/watch?v=TMuD0WMDM_0
 Efek Rumah Kaca (grup musik) Di Udara https://www.youtube.com/watch?v=eguVamGBFjU
 PRIMORDILIS Munir Tumbal HAM https://www.reverbnation.com/primordialis
Karier terpenting
  • Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau HAM Indonesia Imparsial
  • Ketua Dewan Pengurus KONTRAS (2001)
  • Koordinator Badan Pekerja KONTRAS (16 April 1998-2001)
  • Wakil Ketua Dewan Pengurus YLBHI (1998)
  • Wakil Ketua Bidang Operasional YLBHI (1997)
  • Sekretaris Bidang Operasional YLBHI (1996)
  • Direktur LBH Semarang (1996)
  • Kepala Bidang Operasional LBH Surabaya (1993-1995)
  • Koordinator Divisi Perburuhan dan Divisi Hak Sipil Politik LBH Surabaya (1992-1993)
  • Ketua LBH Surabaya Pos Malang
  • Relawan LBH Surabaya (1989)
Organisasi
  • Sekretaris BPM FH Unibraw (1988)
  • Ketua Senat Mahasiswa FH Unibraw (1989)
  • Anggota HMI Komisariat Hukum Unibraw
  • Ketua Umum Komisariat Hkukum Unibraw HMI Cabang Malang
  • Sekretaris Al Irsyad Kabupaten Malang (1988)
  • Divisi Legal Komite Solidaritas untuk Marsinah
  • Sekretarsi Tim Pencari Fakta Forum Indonesia Damai.
Penghargaan terpenting
  • Right Livelihood Award 2000, Penghargaan pengabdian bidang kemajuan HAM dan kontrol sipil terhadap militer (Swedia, 8 Desember 2000)
  • Mandanjeet Singh Prize, UNESCO, untuk kiprahnya mempromosikan Toleransi dan Anti-Kekerasan (2000)
  • Salah satu Pemimpin Politik Muda Asia pada Milenium Baru (Majalah Asiaweek, Oktober 1999)
  • Man of The Year versi majalah Ummat (1998).
  • Suardi Tasrif Awards, dari Aliansi Jurnalis Independen, (1998) atas nama Kontras
  • Serdadu Awards, dari Organisasi Seniman dan Pengamen Jalanan Jakarta (1998)
  • Yap Thiam Hien Award (1998)
  • Satu dari seratus tokoh Indonesia abad XX, majalah Forum Keadilan
Kasus-kasus penting yang pernah ditangani
  • Penasehat Hukum dan anggota Tim Investigasi Kasus Fernando Araujo, dkk, di Denpasar yang dituduh merencanakan pemberontakan melawan pemerintah secara diam-diam untuk memisahkan Timor-Timur dari Indonesia; 1992
  • Penasehat Hukum Kasus Jose Antonio De Jesus Das Neves (Samalarua) di Malang, dengan tuduhan melawan pemerintah untuk memisahkan Timor Timur dari Indonesia; 1994
  • Penasehat Hukum Kasus Marsinah dan para buruh PT. CPS melawan KODAM V Brawijaya atas tindak kekerasan dan pembunuhan Marsinah, aktifis buruh; 1994
  • Penasehat Hukum masyarakat Nipah, Madura, dalam kasus permintaan pertanggungjawaban militer atas pembunuhan tiga petani Nipah Madura, Jawa Timur; 1993
  • Penasehat Hukum Sri Bintang Pamungkas (Ketua Umum PUDI) dalam kasus subversi dan perkara hukum Administrative Court (PTUN) untuk pemecatannya sebagai dosen, Jakarta; 1997
  • Penasehat Hukum Muchtar Pakpahan (Ketua Umum SBSI) dalam kasus subversi, Jakarta; 1997
  • Penasehat Hukum Dita Indah Sari, Coen Husen Pontoh, Sholeh (Ketua PPBI dan anggota PRD) dalam kasus subversi, Surabaya;1996
  • Penasehat Hukum mahasiswa dan petani di Pasuruan dalam kasus perburuhan PT. Chief Samsung; 1995
  • Penasehat Hukum bagi 22 pekerja PT. Maspion dalam kasus pemogokan di Sidoarjo, Jawa Timur; 1993
  • Penasehat Hukum DR. George Junus Aditjondro (Dosen Universitas Kristen Satyawacana, Salatiga) dalam kasus penghinaan terhadap pemerintah, Yogyakarta; 1994
  • Penasehat hukum Muhadi (seorang sopir yang dituduh telah menembak polisi ketika terjadi bentrokan antara polisi dengan anggota TNI AU) di Madura, Jawa Timur; 1994
  • Penasehat Hukum dalam kasus hilangnya 24 aktivis dan mahasiswa di Jakarta; 1997-1998
  • Penasehat Hukum dalam kasus pembunuhan besar-besaran terhadap masyarakat sipil di Tanjung Priok 1984; sejak 1998
  • Penasehat Hukum kasus penembakan mahasiswa di Semanggi, Tragedi Semanggi I dan II; 1998-1999
  • Anggota Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di Timor Timur; 1999
  • Penggagas Komisi Perdamaian dan Rekonsiliasi di Maluku
  • Penasehat Hukum dan Koordinator Advokat HAM dalam kasus-kasus di Aceh dan Papua (bersama KontraS)

Pembunuhan

Munir Said Thalib, akan melanjutkan studi S2 bidang hukum humaniter di Universitas Utrecht, Belanda. Pukul 21.30 WIB. Melalui pengeras suara, seluruh penumpang pesawat Garuda Indonesia nomor penerbangan GA 974 tujuan Amsterdam dipersilakan petugas bandara naik ke pesawat.
Rombongan orang kulit putih bergegas, banyak dari mereka adalah warga negara Belanda. Saat akan memasuki pintu pesawat, Munir bertemu Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang biasa dipanggil Polly. Status Polly dalam penerbangan ini adalah extra crew, yaitu kru yang terbang sebagai penumpang dan akan bekerja untuk tugas lain. Mereka bertemu di dekat pintu masuk kelas bisnis. Sebagai penumpang kelas ekonomi, Munir sebenarnya akan lebih dekat dengan tempat duduknya bila masuk melalui pintu belakang. Diawali percakapan dengan Polly, Munir berakhir di tempat duduk kelas bisnis, nomor 3K. Kursi 3K adalah tempat duduk Polly, sementara milik Munir adalah 40G. Polly selanjutnya naik ke kokpit di lantai dua untuk bersalaman dan mengobrol dengan awak kokpit yang bertugas. Saat pesawat mundur dan siap tinggal landas, Polly dipersilakan oleh purser Brahmanie untuk duduk di kelas premium karena banyak tempat duduk yang kosong di kelompok termahal itu. Purser adalah pimpinan kabin yang bertanggung jawab atas kenyamanan seluruh penumpang, termasuk kepindahan tempat duduk mereka. Lelaki berseragam pilot kemeja putih dan celana biru dongker itu pun duduk di 11B.
Ada dua cerita tentang kepindahan Munir ke kelas bisnis itu, yaitu menurut kisah brahmanie dan polly. Dalam sidang PN (Pengadilan Negeri) Jakarta Pusat, Brahmanie bersaksi, “Saat sedang di depan toilet bisnis, saya berpapasan dengan Saudara Polly. Lalu, Saudara Polly, sambil memegang boarding pass warna hijau, bertanya dalam bahasa Jawa, ‘Mbak, nomer 40G nang endi? Mbak, aku ijolan karo kancaku,’ (Mbak, nomor 40G di mana? Mbak, saya bertukar tempat dengan teman saya.) tanpa menyebutkan nama temannya. Karena nama temannya tidak disebutkan, saya ingin tahu siapa teman Saudara Polly. Lalu, saya datangi nomor 3K, dan ternyata yang duduk di sana Saudara Munir, yang lalu saya salami. Saudara Polly tidak duduk di 40G, tapi di premium class nomor 11B atas anjuran saya karena banyak tempat duduk yang kosong.” Sementara itu, dalam wawancara di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Polly bercerita, “Saya ketemu Munir di pintu pesawat Garuda Indonesia, di bandara Jakarta. Dia tanya di pintu bisnis, ‘Tempat duduk ini di mana?’ Saya bilang, ‘Wah Bapak ini di ekonomi, cuma tempat duduknya yang mana saya tidak hafal.’ Kemudian, itu kan antre, ada banyak penumpang lain mau masuk, saya persilakan duluan. Saya sebagai kru lebih baik ngalah, toh sama-sama naik pesawat, nggak mungkin ditinggal. Setelah itu, karena saya mau masuk ke ruang bisnis, mau melangkah ke dalam pesawat, saya bilang kepada Munir, ‘Saya duduk di bisnis, kalau Bapak mau di sini, ya Bapak tanya dulu sama pimpinan kabin, kalau diizinkan ya silakan, bila tidak ya mohon maaf.’ Bahasa saya seperti itu. Sudah, itu saja.” Sebelum pesawat tinggal landas, di kelas bisnis, Yeti Susmiarti menyajikan welcome drink. Penumpang diminta mengambil gelas berisi sampanye, jus jeruk, atau jus apel. Munir memilih jus jeruk. Selesai minuman pembuka, pramugari senior itu membagikan sauna towel (handuk panas), yang biasa digunakan untuk mengelap tangan, lalu memberikan surat kabar kepada penumpang yang ingin membacanya. Semua layanan itu disajikan Yeti sendiri, dengan bantuan Oedi Irianto, pramugara senior, yang menyiapkan segala keperluannya di pantry. Pukul 22.02 WIB pesawat yang dikendalikan Kapten Pilot Sabur Muhammad Taufik itu tinggal landas. Untuk mengukur waktu tinggal landas dan mendarat secara tepat, industri penerbangan menggunakan istilah block off dan block on. Block off adalah waktu yang menunjukkan saat ganjal roda pesawat di bandara dilepas dan pesawat mulai bergerak untuk terbang. Block on digunakan sebagai penanda waktu kedatangan pesawat di bandara tujuan, yaitu saat ganjal roda pesawat dipasang.
Sekitar 15 menit setelah tinggal landas, pramugari menawarkan beberapa pilihan makanan dalam kemasan yang masih panas di atas nampan. Di kursi 3K, Munir memilih mi goreng. Selesai mi, Yeti kembali memberi tawaran minuman, kali ini lebih banyak pilihan daripada welcome drink. Pilihannya adalah minuman beralkohol (wiski, gin, vodka, red wine, white wine, dan bir), soft drink, jus apel serta jus jeruk Buavita, jus tomat Berry, susu putih Ultra, air mineral Aqua, teh, dan kopi. Munir kembali memilih jus jeruk. Setelah mengarungi langit pulau Jawa, Sumatera, dan laut di sekitarnya selama 1 jam 38 menit, pesawat GA 974 mendarat di Bandara Changi, Singapura pukul 00.40 waktu setempat. Zona waktu Singapura satu jam lebih awal ketimbang WIB. Awak kabin memberi penumpang waktu untuk jalan-jalan atau kegiatan apa saja di Bandara Changi selama 45 menit.
Karena keluar dari pintu bisnis, Munir pun lebih cepat mencapai Coffee Bean dibanding jika keluar dari pintu ekonomi. Usai singgah di kedai itu, dia kembali menuju ke pesawat melaui gerbang D 42. Di perjalanan menuju pintu Garuda, dia disapa oleh seorang laki-laki. “Anda Pak Munir, ya?” “Iya, Pak.” “Saya dr. Tarmizi dari Rumah Sakit Harapan Kita. Pak Munir ngapain ke Belanda?” “Saya mau belajar, mau nge-charge satu tahun.” “Di mana?” “Utrecht.” “Wah, Indonesia kehilangan, dong. Anda kan orang penting?” komentar dr. Tarmizi. “Ya… ini perlu untuk saya, Pak,” timpal Munir sambil tersenyum. “Anda ‘kan pernah nulis tentang Aceh. Bagaimana sih, bisa beres nggak tuh?” tanya dokter lagi, sambil keduanya berjalan. “Ah, itu tergantung niat, Dok.” “Maksudnya?” “Kalau niatnya membereskan, tiga bulan juga beres.” Kemudian, dokter kelahiran Sumatera Barat itu mengeluarkan dompet dan memberi Munir kartu namanya sambil berkata, “Kapan-kapan, bila perlu, silakan menghubungi saya.” Munir menerima kartu nama dr. Tarmizi Hakim, lalu keduanya berpisah. Si dokter masuk ke kelas bisnis, Munir menuju pintu bagian belakang pesawat dan duduk di kursi 40G kelas ekonomi, sebagaimana tercantum di boarding pass-nya. Karena Polly hanya sampai Singapura, Munir pun kembali ke tempat duduk aslinya untuk penerbangan Singapura-Amsterdam. Total waktu transit di Changi (antara block on dan block off) adalah 1 jam 13 menit, jumlah waktu yang digunakan pesawat untuk pengisian bahan bakar, penggantian seluruh awak kokpit dan kabin, serta penambahan penumpang dari Singapura.
Pesawat tinggal landas dari Changi pukul 01.53 waktu setempat. Penerbangan menuju Schipol ini dipimpin oleh Kapten Pantun Matondang, dengan purser Madjib Nasution sebagai penanggung jawab pelayanan penumpang. Sebelum pesawat mengangkasa, pramugari Tia mengecek kesiapan penumpang untuk tinggal landas. Saat melakukan kewajibannya, dia dipanggil oleh Munir yang meminta obat Promag. Pramugari bernama lengkap Tia Dewi Ambara itu meminta Munir menunggu sebentar karena pesawat akan tinggal landas dan seluruh awak kabin harus duduk di tempat masing-masing. Kira-kira 15 menit kemudian, setelah pesawat di ketinggian aman, Tia mulai membagikan selimut dan earphone, dilanjutkan dengan makanan pengantar tidur. Saat Tia sampai di 40G, lelaki berkaus abu-abu dan bercelana jins hitam itu sedang tidur. Tia membangunkannya dan bertanya, “Apa Bapak sudah dapat obat dari teman saya?” “Belum.” “Maaf, kami tidak punya obat.” Tia lalu menawarkan makanan, yang ditolak oleh Munir. Namun, lelaki ini meminta teh hangat. Tia pun menyajikan teh panas yang dituangkan dari teko ke gelas di atas troli. Munir menerima uluran minuman itu, lengkap dengan gula 1 sachet. Ketika Tia melanjutkan melayani penumpang lain, Munir melewatinya di gang menuju toilet. Ini kali pertama Munir pergi ke toilet, sekitar 30 menit setelah tinggal landas.
Tiga jam sudah pesawat besar itu terbang dan sedang berada di langit India saat Munir semakin sering pergi ke toilet. Ketika berjalan di gang kabin yang hanya diterangi oleh lampu baca, dia berpapasan dengan pramugara Bondan Hernawa. Dia mengeluhkan sakit perut dan muntaber kepada Bondan, serta memintanya memanggilkan dr. Tarmizi yang duduk di kelas bisnis. Munir juga memberinya kartu nama dokter itu. Sesuai prosedur untuk situasi semacam ini, Bondan pun melapor kepada purser Madjib Nasution yang berada di Purser Station. “Bang, ini Pak Munir penumpang kita sakit. Buang-buang air, muntah-muntah. Ini ada kawannya, dokter, tapi saya tidak tahu duduk di mana. Tolong carikan tempat duduknya,” ujar Bondan sambil menyerahkan kartu nama dr. Tarmizi. Madjib mencari penumpang atas nama dr. Tarmizi Hakim di Passenger Manifest dan menemukannya di kursi nomor 1J. Belum sempat dia beranjak, Munir sudah berada di depan Purser Station. Sambil memegangi perut, Munir berkata, “Saya sudah buang-buang air, pakai muntah juga. Mungkin maag saya kambuh. Seharusnya tadi tidak minum jeruk waktu dari Jakarta-Singapura.” Munir pun melanjutkan perjalanannya ke toilet. Madjib dan Bondan lalu mendatangi 1J dan mendapati dr. Tarmizi sedang tidur di 1K, kursi sebelah kanannya yang, karena dekat jendela dan dia dapati kosong, lalu dia duduki. “Dokter, dokter…,” Madjib berusaha membangunkan. Keduanya mengulanginya beberapa kali dengan suara lebih keras, tapi tidur dokter bedah itu tetap tak terusik. Madjib kembali berjumpa Munir di gang dan memintanya membangunkan dr. Tarmizi sendiri, sementara Bondan pergi ke pantry untuk melaksanakan tugas terjadwalnya. Akhirnya, dr. Tarmizi bangun. Munir menjelaskan kondisi tubuhnya yang saat itu tampak sangat lemah dengan berkata, “Saya sudah muntah dan buang air besar enam kali sejak terbang dari Singapura.” Dr. Tarmizi mengusulkan kepada Madjib supaya Munir pindah tempat duduk ke nomor 4 karena tempat itu kosong dan dekat dengannya. Munir pun duduk di kursi 4D. Dr. Tarmizi mengambil posisi di samping kirinya. “Pak Munir makan apa saja dua hari terakhir ini?” tanya dokter spesialis bedah toraks kardiovaskular itu. Munir hanya diam, mungkin akibat nyeri perutnya. Pertanyaan itu disambut oleh Madjib, “Pak Munir tadi sempat minum air jeruk, padahal Pak Munir tidak kuat minum jeruk karena punya maag.” Munir tetap diam, tidak berkomentar. “Kalau maag tidak begini,” kata si dokter, yang lalu bertanya kepada Munir, “Anda makan apa?” “Biasa saja.” “Kemarin?” “Biasa saja.” “Kemarinnya lagi?” “Biasa saja.” Dokter itu melakukan pemeriksaan secara umum dengan membuka baju pasiennya. Dia lalu mendapati nadi di pergelangan tangan Munir lemah. Dokter berpendapat Munir menunjukkan gejala kekurangan cairan akibat muntaber.
Munir kembali lagi ke toilet, diikuti dokter, pramugara, dan pramugari. Setelah muntah dan buang air, dia pulang ke kursi 4D, sambil terus batuk-batuk berat. Dr. Tarmizi meminta seorang pramugari mengambilkan Doctor’s Emergency Kit yang dimiliki setiap pesawat terbang. Kotak itu dalam keadaan tersegel. Setelah melihat isinya, dia berpendapat obat yang tersedia sangat minim, terutama untuk kebutuhan Munir. Dr. Tarmizi memerlukan infus, tapi tidak ada. Tidak ada obat khusus untuk sakit perut mulas, juga obat muntaber biasa. Si dokter pun mengambil obat dari tasnya sendiri. Dia memberi Munir obat diare New Diatabs serta obat mual dan perih kembung Zantacts dan Promag. Dua tablet untuk yang pertama dan masing-masing satu tablet untuk dua terakhir. Dr. Tarmizi lalu meminta seorang pramugari membuatkan teh manis dengan sedikit tambahan garam di dalamnya. Namun, lima menit setelah meminum teh hangat itu, Munir kembali ke toilet. Munir rampung setelah lima menit dan membuka pintu. Dr. Tarmizi lalu membimbing Munir berjalan menyusuri gang sambil berkomentar kepada purser Madjib, “Mengapa infus saja tidak ada padahal perjalanan sejauh ini?” Di kotak obat pesawat terdapat cairan Primperam, obat antimual dan muntah, yang kemudian disuntikkan dr. Tarmizi ke tubuh Munir sejumlah 5 ml (dosis 1 ampul). Injeksi di bahu kiri ini cukup berpengaruh karena Munir kemudian tidur. Penderitaannya reda selama 2-3 jam.
Munir bangun dan kembali masuk ke toilet. Dia cukup lama berada di dalamnya, kira-kira 10 menit, dan pintunya pun tidak tertutup dengan sempurna. Madjib memberanikan diri melongok lewat celah yang ada dan mengetuk pintu, tapi tidak ada respons dari orang yang sedang menderita di dalam sana. Madjib membuka pintu lebih lebar dan melihat laki-laki 38 tahun itu sedang bersandar lemas di dinding toilet. Purser Madjib langsung memanggil dokter yang selama setengah jam terakhir paling tahu kondisi penumpangnya itu. Dr. Tarmizi mengajak Madjib dan pramugara Asep Rohman mengangkat Munir kembali ke kursi 4D. Setelah didudukkan di kursi, Munir menjalani pemeriksaan oleh dr. Tarmizi, dalam gelapnya kabin pesawat yang hanya diterangi lampu baca. Kegelapan ini keadaan yang tak bisa mereka atasi sebab demikianlah aturan penerbangan. Pertama pergelangan tangan, lalu perut. Saat perutnya diketuk oleh si dokter, Munir mengeluh, “Aduh, sakit,” sambil memegang perut bagian atas. Madjib menyarankannya untuk ber-Istighfar, disambut Munir dengan menyebut, “Astaghfirullah Haladzim, La Illaha Illa Llah,” sambil tetap memegangi perut. Pramugari Titik Murwati yang berada di dekat situ berinisiatif memberi balsem gosok, tindakan yang dia harap bisa membantu meredakan derita penumpangnya. Atas persetujuan dr. Tarmizi, Titik menggosok perut Munir dengan balsem yang bisa memberikan rasa hangat. Munir berkata dia ingin istirahat karena capek. Dr. Tarmizi membuka kotak obat lagi dan mengambil obat suntik Diazepam. Kali ini, dokter menyuntikkan 5 mg di bahu kanan, juga dengan bantuan purser Madjib. Jarak antara kedua suntikan sekitar 4-5 jam. Sesudah suntikan obat penenang itu, Munir masih merasakan mulas di perut. Lima belas menit berlalu dan Munir ke toilet lagi, ditemani dokter, purser, serta pramugari. Di dalamnya, Munir muntah, diikuti buang air. Kembali ke tempat duduk, Munir berkata dirinya ingin tidur telentang. Purser dan seorang anak buahnya membentangkan sebuah selimut sebagai alas di lantai depan kursi 4D-E dan sebuah bantal di atasnya. Dia pun berbaring di sana, dengan dua selimut lagi diletakkan di atas tubuhnya agar hangat. Dr. Tarmizi berkata kepada awak kabin itu supaya Munir dijaga, dan bahwa dirinya ingin istirahat karena besok kerja (dia akan melakukan operasi jantung di rumah sakit di Swole), sambil minta dibangunkan bila terjadi apa-apa dengan Munir. Juga, dia berpesan agar mereka memastikan dokter dari Amsterdam yang besok masuk ke pesawat membawa infus. Setelahnya, si dokter kembali ke kursi di 1K dan tidur. Munir kembali bisa tidur, tapi sering berubah posisi, dan posisi itu selalu miring, tidak pernah telentang atau tengkurap. Madjib terus setia menjaga Munir sampai sekitar 3 jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol, saat awak kabin menyiapkan makan pagi penumpang.Madjib berjalan ke tempat duduk dr. Tarmizi dan bertanya apakah perlu dirinya membangunkan Munir untuk sarapan, yang dijawab dengan anjuran untuk membiarkan Munir tetap istirahat. Madjib pun melakukan tugas rutinnya mengawasi lingkungan pesawat.
Sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat, jam 05.10 GMT atau 12.10 WIB, ketika sarapan masih berlangsung dan lampu kabin masih menyala, Madjib kembali melangkahkan kaki mengunjungi “tempat tidur” Munir. Di depan kursi 4D-E, dia melihat tubuh Munir dalam posisi miring menghadap kursi, mulutnya mengeluarkan air liur tidak berbusa, dan telapak tangannya membiru. Dia memegang tangan Munir dan mendapati rasa dingin. Madjib yang kaget bergegas menuju kursi sang dokter. Dokter memegang pergelangan tangan Munir sambil dengan tangan satunya menepuk-nepuk punggung. Dia berulang-ulang berujar, “Pak Munir… Pak Munir….“ Akhirnya, memandang purser Madjib, dr. Tarmizi berkata pelan, “Purser, Pak Munir meninggal… Kok secepat ini, ya…. Kalau cuma muntaber, manusia bisa tahan tiga hari.” Purser Madjib meminta Bondan dan Asep membantunya mengangkat tubuh kaku Munir ke tempat yang lebih baik: lantai depan kursi 4J-K. Munir berbaring di atas dua lembar selimut, kedua matanya dipejamkan oleh Bondan, tubuhnya ditutupi selimut.
Bondan dan Asep membaca surat Yassin di depan jenazah Munir Said Thalib, empat puluh ribu kaki di atas tanah Rumania.
Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi Indonesia. Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada yang menduga bahwa oknum-oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya.
Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik pemerintah tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior, tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut. Selain itu Presiden Susilo juga membentuk tim investigasi independen, namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.
Pada 19 Juni 2008, Mayjen (purn) Muchdi Pr, yang kebetulan juga orang dekat Prabowo Subianto dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, ditangkap dengan dugaan kuat bahwa dia adalah otak pembunuhan Munir[1]. Beragam bukti kuat dan kesaksian mengarah padanya[2].Namun demikian, pada 31 Desember 2008, Muchdi divonis bebas. Vonis ini sangat kontroversial dan kasus ini tengah ditinjau ulang, serta 3 hakim yang memvonisnya bebas kini tengah diperiksa[3].

Cak Noer


Prof. Dr. Nurcholish Madjid atau populer dipanggil Cak Nur lahir di Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939. Dia adalah seorang pemikir Islam, cendekiawan, dan budayawan Indonesia. Pada masa mudanya sebagai aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), ide dan gagasannya tentang sekularisasi dan pluralisme pernah menimbulkan kontroversi dan mendapat banyak perhatian dari berbagai kalangan masyarakat. Nurcholish pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, dan sebagai Rektor Universitas Paramadina, sampai dengan wafatnya pada tahun 2005. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Mojokerto, Jawa Timur. Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi.

Setelah melewati pendidikan di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertasi tentang filsafat dan kalam Ibnu Taimiyah. Mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah, 1972-1976; dosen pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1985-sekarang; peneliti pada LIPI, 1978-sekarang; guru besar tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada, 1991-1992. Fellow dalam Eisenhower Fellowship, bersama isteri, 1990. Ia banyak menulis makalah-makalah yang diterbitkan dalam berbagai majalah, surat kabar dan buku suntingan, beberapa diantaranya berbahasa Inggris. Buku-bukunya yang telah terbit ialah Khazanah Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang/Obor, 1984) dan Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, suntingan Agus Edy Santoso (Bandung, Mizan, 1988)

Sejak 1986, bersama kawan-kawan di ibukota, mendirikan dan memimpin Yayasan Wakaf Paramadina, dengan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada gerakan intelektual Islam di Indonesia. Buku ini adalah salah satu hasil kegiatan itu. Dan sejak 1991 menjabat Wakil Ketua Dewan pakar Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI).

Cak Nur dianggap sebagai salah satu tokoh pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Cak Nur dikenal dengan konsep pluralismenya yang mengakomodasi keberagaman/ke-bhinneka-an keyakinan di Indonesia. Menurut Cak Nur, keyakinan adalah hak primordial setiap manusia dan keyakinan meyakini keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar. Cak Nur mendukung konsep kebebasan dalam beragama, namun bebas dalam konsep Cak Nur tersebut dimaksudkan sebagai kebebasan dalam menjalankan agama tertentu yang disertai dengan tanggung jawab penuh atas apa yang dipilih. Cak Nur meyakini bahwa manusia sebagai individu yang paripurna, ketika menghadap Tuhan di kehidupan yang akan datang akan bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan, dan kebebasan dalam memilih adalah
konsep yang logis.


Sebagai tokoh pembaruan dan cendikiawan Muslim Indonesia, seperti halnya K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Cak Nur sering mengutarakan gagasan-gagasan yang dianggap kontroversial terutama gagasan mengenai pembaruan
Islam di Indonesia. Pemikirannya dianggap sebagai mendorong pluralisme dan keterbukaan mengenai ajaran Islam di Indonesia, terutama setelah berkiprah dalam Yayasan Paramadina dalam mengembangkan ajaran Islam yang moderat.

Namun demikian, ia juga berjasa ketika bangsa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan pada tahun 1998. Cak Nur sering diminta nasihat oleh Presiden Soeharto terutama dalam mengatasi gejolak pasca kerusuhan Mei 1998 di Jakarta setelah Indonesia dilanda krisis hebat yang merupakan imbas krisis 1997. Atas saran Cak Nur, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya untuk menghindari gejolak politik yang lebih parah.
”Jadilah bambu. Jangan jadi pisang. Daunnya lebar membuat anaknya tidak kebagian sinar matahari. Bambu lain rela telanjang asal anaknya, rebung, pakaiannya lengkap.”
Metafora itu berulang kali dilontarkan cendekiawan Nurcholish Madjid (66) dalam berbagai kesempatan. Mengingatkan bangsa ini betapa pentingnya menunda kesenangan untuk hari esok yang lebih baik. Menahan diri dari kemewahan dan mementingkan pendidikan. ”Bila perlu orangtua melarat, tapi anaknya sekolah dengan baik,” pesannya. Cak Nur tidak hanya berpesan, tetapi menyatakannya dalam kehidupan. Kedua anaknya melanjutkan pendidikan ke Amerika Serikat hingga jenjang master. Kesederhanaan melekat kuat dalam keseharian kehidupannya.

Dia bukan hanya cendekiawan, tetapi pemberi inspirasi bagi bangsanya, dengan gagasan yang sering kali mendahului zamannya. Tahun 1970, ketika semangat masyarakat berpartai menggebu, putra sulung almarhum Abdul Madjid ini muncul dengan jargon ”Islam Yes, Partai Islam No”, untuk melepaskan Islam dari klaim satu kelompok tertentu, dan menjadi milik nasional. Namun, sedikit yang paham dengan gagasan ini, menganggap Cak Nur mengembangkan sekularisme.


Tahun 1980-an, Cak Nur mendorong terjadinya check and balance dengan munculnya ide oposisi loyal. Guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini juga melontarkan wacana Pancasila sebagai ideologi terbuka, yang juga kembali menuai pro dan kontra. Cak Nur tak pernah surut mengembangkan intelektualitasnya. Lewat Paramadina, dikembangkan komunitas intelektual dan merengkuh kelas menengah Muslim Indonesia untuk lebih intensif mengkaji Islam. Dengan caranya, Cak Nur membuka jalan terwujudnya reformasi dengan menolak tawaran duduk di Komite Reformasi, yang akan dibentuk Presiden Soeharto untuk menghadapi tuntutan reformasi (1998). Penolakan itu meruntuhkan rencana Soeharto bertahan sebagai presiden.

Kegundahan terhadap kehidupan politik bangsa mendorong Cak Nur menyatakan siap mengikuti pemilihan presiden pada Pemilu 2004, dan lahirlah 10 program membangun Indonesia. Cak Nur meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 akibat penyakit sirosis hati yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata meskipun merupakan warga sipil karena dianggap telah banyak berjasa kepada negara.

Referensi :

- http://id.wikipedia.org/wiki/Nurcholish_Madjid
- http://media.isnet.org/islam/Paramadina/CakNurObituari.html
- http://media.isnet.org/islam/Paramadina/CakNur.html